Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah. Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian Tasawwuf dan Tharekat, serta hubungan antara keduanya.
Secara ethimologi, tasawwuf berasal dari bahasa arab yaitu dari kata "shuuf", yang berarti bulu. Jaman dulu, disamping mesjid nabi di madinah, oleh nabi dibangunlah sebuah tempat yang mungkin sekarang disebut surau, yang sangat sederhana, untuk tempat istirahat orang2 yang dalam perjalanan (musafir) atau orang2 yang mengkhususkan dirinya untuk belajar tentang ajaran yang dibawa oleh rasul, dan langsung dari rasul. Mereka menjauhkan dari urusan duniawi dengan cara berpakaian yang waktu itu dianggap paling sederhana yang terbuat dari bulu binatang (shuuf). Komunitas mereka waktu itu disebut" kaum shuuf". Kaum shuuf ini sesuai dengan pengalaman bathin yang telah mereka rasakan masing2 untuk mencapai kesadaran murni (fitrah) yang mengarahkan jiwa yang benar kepada amal dalam rangka mendekatkan diri kepada Alloh swt. Ilmu atau ajaran yang dipelajari oleh kaum shuuf ini yang menimbulkan keistimewaan bagi mereka dalam hal keimanan/keyakinan yang tidak bisa dipungkiri terhadap Alloh swt. Tidak ada literatur yang manerangkan sejak kapan timbul istilah "tasawwuf", yang ditujukan kepada pengetahuan yang dimiliki/dipelajari oleh kaum shuuf ini. Memang waktu itu juga ada istilah yang disebut "tauhid" yang artinya ilmu tentang ketuhanan. Istilah tasawwuf dibedakan dengan tauhid, dimana tasawwuf dikhususkan pada orang2 yang memang mencurahkan dirinya untuk mempelajari ketauhidan berikut tingkah laku atau pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan tarekat berasal dari kata "thoriqoh" yang berarti cara atau jalan. Dalam artian jalan yang mengacu pada suatu sistem latihan meditasi atau amalan-amalan yang diajarkan oleh guru sufi. Istilah ini kemudian berkembang menjadi organisasi atau komunitas yang tumbuh seputar metode yang khas menaungi paham tasawwuf.
Dari pengertian diatas, tampaklah pertalian yang sangat erat antara tasawwuf dan tarekat, bahwa antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Tasawwuf adalah adalah sebuah ideologi dari insitusi yang menaunginya, yaitu tarekat. Atau dengan kata lain, tarekat merupakan mazhab-mazhab dalam tasawwuf. Dan tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawwuf yang kemudian berkembang menjadi suatu organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf secara bersama-sama.
Macam-Macam Tarekat.
Jumlah Tarekat sangat banyak, akan tetapi yang akan dibahas disini, yaitu:
1. Tarekat Syattariyah.
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi manapun.
Isi ajaran Tarekat Syattariyah.
1. Hubungan Antara Tuhan dengan Alam
Menurut ajaran tarekat Syattariyah, alam diciptakan oleh Allah dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, alam berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama A’yan Tsabitah. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah. Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma pada A’yan Kharijiyyah (kenyataan yang berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang, dan ia tiada lain daripada-Nya.
Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh, antara lain:
a. Pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Dan jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari seorang saja.
b. Kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan itu sendiri tetapi ia termauk dari tangan itu juga.
c. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya. Ilmu itu berdiri pada dzatnya dan hapus di dalam dirinya. Padahal hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya), yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa al-kullu Huwa al-Haqq, artinya ‘Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha Benar’.
2. Dzikir dalam Tarekat Syattariyah
a. Aturan-aturan berdzikir
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
b. Tingkatan dzikir
Pelaksanaan dzikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: mubtadi (tingkat permulaan), mutawasitah (tingkat menengah), dan muntahi (tingkat terakhir). Tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat, yaitu ma’rifat tanziyyah dan ma’rifat tasybiyyah. Ma’rifat tanziyyah adalah ‘suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apapun’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi batiniah/hakikatnya. Sedangkan ma’rifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan mengiktikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar’, dalam makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya.
c. Macam-macam dzikir
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendalikan tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
1) Dzikir Thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2) Dzikir Nafi Itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3) Dzikir Itsbat Faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4) Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5) Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Illahi.
6) Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Illahi.
7) Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”.
Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
1) Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2) Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3) Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4) Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
5) Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
6) Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7) Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok.
1) Menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain.
2) Menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain.
3) Menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain.
Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
2. Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah ialah Muhammad bin Baha’uddin Al-Huwaisi Al Bukhari (717-791 H). Ulama sufi yang lahir di desa Hinduwan – kemudian terkenal dengan Arifan, beberapa kilometer dari Bukhara. Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah ini juga dikenal dengan nama Naqsyabandi yang berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikan gambaran kehidupan yang ghaib-ghaib. Kata ‘Uwais’ ada pada namanya, karena ia ada hubungan nenek dengan Uwais Al-Qarni, lalu mendapat pendidikan kerohanian dari wali besar Abdul Khalik Al-Khujdawani yang juga murid Uwais dan menimba ilmu Tasawuf kepada ulama yang ternama kala itu, Muhammad Baba Al-Sammasi.
Tarekat Naqsyabandiyah mengajarkan zikir-zikir yang sangat sederhana, namun lebih mengutamakan zikir dalam hati daripada zikir dengan lisan.
Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan dalam Tarekat ini, yaitu:
a. Tobat
b. Uzla (Mengasingkan diri dari masyarakat ramai yang dianggapnya telah mengingkari ajaran-ajaran Allah dan beragam kemaksiatan, sebab ia tidak mampu memperbaikinya)
c. Zuhud (Memanfaatkan dunia untuk keperluan hidup seperlunya saja)
d. Taqwa
e. Qanaah (Menerima dengan senang hati segala sesuatu yang dianugerahkan oleh Allah SWT)
f. Taslim (Kepatuhan batiniah akan keyakinan qalbu hanya pada Allah)
Hukum yang dijadikan pegangan dalam Tarekat Naqsyabandiyah ini juga ada enam, yaitu:
a. Zikir
b. Meninggalkan hawa nafsu
c. Meninggalkan kesenangan duniawi
d. Melaksanakan segenap ajaran agama dengan sungguh-sungguh
e. Senantiasa berbuat baik (ihsan) kepada makhluk Allah SWT
f. Mengerjakan amal kebaikan
3. Tarekat Qadiriyah
Pendiri Tarekat Qadiriyah adalah Syeikh Abduk Qadir Jailani, seorang ulama yang zahid, pengikut mazhab Hambali. Ia mempunyai sebuah sekolah untuk melakukan suluk dan latihan-latihan kesufian di Baghdad. Pengembangan dan penyebaran Tarekat ini didukung oleh anak-anaknya antara lain Ibrahim dan Abdul Salam. Sebagaimana Tarekat yang lain, Qadiriyah juga memiliki dan mengamalkan zikir dan wirid tertentu.
Sejak kecil, Syeikh Abdul Qadir telah menunjukkan tanda-tanda sebagai Waliyullah yang besar. Ia adalah anak yang sangat berbakti pada orang tua, jujur, gemar belajar dan beramal serta menyayangi fakir miskin dan selalu menjauhi hal0hal yang bersifat maksiat. Ia memang lahir dan dididik dalam keluarga yang taat karena ibunya yang bernama Fatimah dan kakeknya Abdullah Sum’i adalah wali Allah SWT.
Syeikh Abdul Qadir Jailani dikaruniai oleh Allah SWT keramat sejak masih muda, sekitar usia 18 tahun. Dikisahkan dalam manaqib (biografi) beliau bahwa ketika ia akan membajak sawah, sapi yang menarik bajak mengatakan kepadanya, “Engkau dilahirkan ke dunia bukan untuk kerja begini.” Peristiwa yang mengejutkan ini mendorongnya untuk bergegas pulang. Ketika ia naik ke aatas atap rumah, mata batinnya melihat dengan jelas suatu majelis yang sangat besar di Padang Arafah. Setelah itu ia memohojn kepada ibunya agar membaktikan dirinya kepada Allah SWT dan berkenan mengirimkannya ke kota Baghdad yang kala itu menjadi pusat ilmu pengetahuan yang terkenal bagi kaum muslimin. Dengan sangat berat hati ibunya pun mengabulkannya.
Suatu hari bergabunglah Abdul Qadir Jailani dengan kafilah yang menuju Baghdad. Ketika hampir sampai di tujuan, kafilah ini dikepung oleh sekawanan perampok. Semua harta benda milik kafilah dirampas, kecuali bekal yang dibawa oleh Abdul Qadir Jailani. Salah seorang kawanan perampok kemudian mendatanginya dan bertanya, “Apa yang engkau bawa?” Dengan jujur Abdul Qadir Jailani menjawab, “Uang empat puluh dinar.”
Perampok itu membawa Abdul Qadir Jailani menghadap pimpinannya dan menceritakan tentang uang empat puluh dinar. Pemimpin perampok itu pun segera meminta uang yang empat puluh dinar tadi, namun ia merasa terpesona oleh kepribadian Abdul Qadir Jailani. “Mengapa engkau berkata jujur tentang uang ini?” Dengan tenang Abdul Qadir Jailani, “Saya telah berjanji kepada ibu untuk tidak berbohong kepada siapapun dan dalam keadaan apapun.
Seketika pemimpin perampok tersebut terperangah, sejenak kemudian ia menangis dan menyesali segala perbuatan zalimnya. “Mengapa saya berani terus-menerus melanggar peraturan Tuhan, sedangkan pemuda ini melanggar janji pada ibunya sendiri saja tidak berani.” Ia kemudian memerintahkan semua barang rampasan kepada pemiliknya masing-masing dan sejak itu berjanji untuk mencari rezeki dengan jalan yang halal.
Semasa Abdul Qadir Jailani masih hidup, Tarekat Qadiriyah sudah berkembang ke beberapa penjuru dunia, antara lain ke Yaman yang disiarkan oleh Ali bin Al-Haddad, di Syiria oleh Muhammad Batha’, di Mesir oleh Muhammad bin Abdus Samad serta di Maroko, Turkestan dan India yang dilakukan oleh anak-anaknya sendiri. Mereka sangat berjasa dalam menyempurnakan Tarekat Qadiriyah. Mereka pula yang menjadikan tarekat ini sebagai gerakan yang mengumpulkan dan menyalurkan dana untuk keperluan amal sosial.
4. Tarekat Rifa’yah
Pendirinya Tarekat Rifaiyah adalah Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifai. Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H (1106 M), sedangkan sumber lain mengatakan ia lahir pada tahun 512 H (1118 M). Sewaktu Ahmad berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia lalu diasuh pamannya, Mansur Al-Batha’ihi, seorang syeikh Trarekat. Selain menuntut ilmu pada pamannya tersebut ia juga berguru pada pamannya yang lain, Abu Al-Fadl Ali Al Wasiti, terutama tentang Mazhab Fiqh Imam Syafi’i. Dalam usia 21 tahun, ia telah berhasil memperoleh ijazah dari pamannya dan khirqah 9 sebagai pertanda sudah mendapat wewenang untuk mengajar.
Ciri khas Tarekat Rifaiyah ini adalah pelaksanaan zikirnya yang dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, antara lain berguling-guling dalam bara api, namun tidak terbakar sedikit pun dan tidak mempan oleh senjata tajam.
5. Tarekat Sammaniyah
Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan Syeikh Muhammad Saman, seorang guru masyhur yang mengajarkan Tarekat di Madinah. Banyak orang Indonesia terutama dari Aceh yang pergi ke sana mengikuti pengajarannya. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika Tarekat ini tersebar luas di Aceh dan terkenal dengan nama Tarekat Sammaniyah.
Sebagaimana guru-guru besar Tasawuf, Syeikh Muhammad Saman terkenal akan kesalehan, kezuhudan dan kekeramatannya. Salah satu keramatnya adalah ketika Abdullah Al-Basri – karena melakukan kesalahan – dipenjarakan di Mekkah dengan kaki dan leher di rantai. Dalam keadaan yang tersiksa, Al-Basri menyebut nama Syeikh Muhammad Saman tiga kali, seketika terlepaslah rantai yang melilitnya. Kepada seorang murid Syeikh Muhammad Saman yang melihat kejadian tersebut, Al-Basri menceritakan, “kulihat Syeikh Muhammad Saman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus.”
Perihal awal kegiatan Syeikh Muhammad Saman dalam Tarekat dan Hakikat, menurut Kitab Manaqib Tuan Syeikh Muhammad Saman, adalah sejak pertemuannya dengan Syeikh Abdul Qadir Jailani. Kisahnya, di suatu ketika Syeikh Muhammad Saman berkhalwat (bertapa) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu datang Syeikh Abdul Qadir Jailani membawakan pakaian jubah putih. “Ini pakaian yang cocok untukmu.” Ia kemudian memerintahkan Syeikh Muhammad Saman agar melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon semula Syeikh Muhammad Saman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW menyebarkannya dalam kota Madinah.
Tarekat Sammaniyah juga mewiridkan bacaan zikir yang biasanya dilakukan secara bersama-sama pada Malam Jum’at di masjid-masjid atau mushalla sampai jauh tengah malam. Selain itu ibadah yang diamalkan oleh Syeikh Muhammad Saman yang diikuti oleh murid-muridnya sebagai Tarekat antara lain adalah shalat sunnah Asyraq dua raka’at, shalat sunnah Dhuha dua belas raka’at, memperbanyak riadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT) dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
6. Tarekat Syaziliyah
Pendiri Tarekat Syaziliyah adalah Abdul Hasan Ali Asy-Syazili, seorang ulama dan sufi besar. Menurut silsilahnya, ia masih keturunan Hasan, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah SAW. Ia dilahirkan pada 573 H di suatu desa kecil di kawasan Maghribi. Tentang arti kata “Syazili” pada namanya yang banyak dipertanyakan orang kepadanya, konon ia pernah menanyakannya kepada Tuhan dan Tuhan pun memberikan jawaban, “Ya Ali, Aku tidak memberimu nama Syazili, melainkan Syazz yang berarti jarang karena keistimewaanmu dalam berkhidmat kepada-Ku.
Ali Syazili terkenal sangat saleh dan alim, tutur katanya enak didengar dan mengandung kedalaman makna. Bahkan bentuk tubuh dan wajahnya, menurut orang-orang yang mengenalnya, konon mencerminkan keimanan dan keikhlasan. Sifat-sifat salehnya telah tampak sejak ia masih kecil. Apalagi setelah ia berguru pada dua ulama besar – Abu Abdullah bin Harazima dan Abdullah Abdussalam ibn Masjisy – yang sangat meneladani khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib.
Dalam jajaran sufi, Ali Syazili dianggap seorang wali yang keramat. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa ia pernah mendatangi seorang guru untuk mempelajari suatu ilmu. Tanpa basa-basi sang guru mengatakan kepadanya, “Engkau mendapatkan ilmu dan petunjuk beramal dariku? Ketahuilah, sesungguhnya engkau adalah salah seorang guru ilmu-ilmu tentang dunia dan ilmu-ilmu tentang akhirat yang terbesar.” Kemudian pada suatu waktu, ketika ingin menanyakan tentang Ismul A’zam kepada gurunya, seketika ada seorang anak kecil datang kepadanya, “Mengapa engkau ingin menanyakan tentang Ismul A’zam kepada gurumu? Bukankah engkau tahu bahwa Ismul A’zam itu adalah engkau sendiri?”
Tarekat Syaziliyah merupakan Tarekat yang paling mudah pengamalannya. Dengan kata lain tidak membebani syarat-syarat yang berat kepada Syeikh Tarekat. Kepada mereka diharuskan:
a. Meninggalkan segala perbuatan maksiat.
b. Memelihara segala ibadah wajib, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan lain-lain.
c. Menunaikan ibadah-ibadah sunnah semampunya.
d. Zikir kepada Allah SWT sebanyak mungkin atau minimal seribu kali dalam sehari semalam dan beristighfar sebanyak seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain.
e. Membaca shalawat minimal seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain.
7. Tarekat Tijaniyah
Pendiri Tarekat Tijaniyah ialah Abdul Abbas bin Muhammad bin Muchtar At-Tijani (1737-1738), seorang ulama Algeria yang lahir di ‘Ain Mahdi. Menurut sebuah riwayat, dari pihak bapaknya ia masih keturunan Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Keistimewaannya adalah pada saat ia berumur tujuh tahun, Konon Tijani sudah menghapal Alqur’an, kemudian mempelajari pengetahuan Islam yang lain, sehingga ia menjadi guru dalam usia belia.
Ketika naik haji di Madinah, Tijani berkenalan dengan Muhammad bin Abdul Karim As-Samman, pendiri Tarekat Sammaniyah. Setelah itu ia mulai mempelajari ilmu-ilmu rahasia batin. Gurunya yang lain dalam bidang Tarekat ini ialah Abu Samghun As-Shalasah. Dari sinilah pandangan batinnya mulai terasah. Bahkan konon dalam keadaan terjaga ia bertemu Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan kepadanya beberapa wirid, istighfar dan shalawat yang masing-masing harus diucapkan seratus kali dalam sehari semalam. Selain itu Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan agar Tijani mengajarkan wirid-wirid tersebut kepada semua orang yang menghendakinya.
Wirid-wirid yang harus diamalkan dalam Tarekat Tijaniyah sangat sederhana, yaitu terdiri dari istighfar seratus kali, shalawat seratus kali dan tahlil seratus kali. Semua wirid tersebut boleh diamalkan dua waktu sehari yaitu pagi setelah Shalat Shubuh dan sore setelah Shalat Ashar.
8. Tarekat Khalawatiyah
Cabang dari Tarekat Aqidah Suhrardiyah yang didirikan di Baghdat oleh Abdul Qadir Suhrawardi dan Umar Suhrawardi. Mereka menamakan diri golongan Siddiqiyah karena mengklaim sebagai keturunan kahlifah Abu Bakar r.a. Khalawatiyah ini didirikan di Khurasan oleh Zahiruddin dan berhasil berkembang sampai ke Turki. Tidak mengherankan jika Tarekat Khalawatiyah ini banyak cabangnya antara lain; Tarekat Dhaifiyah di Mesir dan di Somalia dengan nama Salihiyah.
Tarekat Khalawatiyah ini membagi manusia menjadi tujuh tingkatan:
a. Manusia yang berada dalam nafsul ammarah
Mereka yang jahil, kikir, angkuh, sombong, pemarah, gemar kepada kejahatan, dipengaruhi syahwat dan sifat-sifat tercela lainnya. Mereka ini bisa membebaskan diri dari semua sifat-sifat tidak terpuji tersebut dengan jalan memperbanyak zikir kepada Allah SWT dan mengurangi makan-minum.
Maqam mereka adalah aghyar, artinya kegelap-gulitaan.
b. Manusia yang berada dalam nafsul lawwamah
Mereka yang gemar dalam mujahaddah (meninggalkan perbuatan buruk) dan berbuat saleh, namun masih suka bermegah-megahan dan suka pamer. Cara untuk melenyapkan sifat-sifat buruk tersebut adalah mengurangi makan-minum, mengurangi tidur, mengurangi bicara, sering menyendiri dan memperbanyak zikir serta berpikir yang baik-baik.
Maqam mereka adalah anwar, artinya cahaya yang bersinar.
c. Manusia yang berada dalam nafsul mulhamah
Mereka yang kuat mujahaddah dan tajrid, karena ia telah menemui isyarat-isyarat tauhid, namun belum mampu melepaskan diri dari hukum-hukum manusia. Cara untuk melepaskan kekurangannya adalah dengan jalan menyibukkan batinnya dalam Hakikat Iman dan menyibukkan diri dalam Syari’at Islam.
Maqam mereka adalah kamal, artinya kesempurnaan.
d. Manusia yang berada dalam nafsul muthma’innah
Mereka yang tidak sedikit pun meninggalkan ajaran Islam, mereka merasa nyaman jika berakhlak seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan merasa belum tentram hatinya jika belum mengikuti petunjuk dan sabda Beliau.
Manusia seperti ini sangat menyenangkan siapa pun yang melihatnya dan mengajaknya berbicara.
e. Manusia yang berada dalam nafsul radhiyah
Mereka yang sudah tidak menggantungkan diri kepada sesama manusia, melainkan hanya kepada Allah SWT. Mereka umumnya sudah melepaskan sifat-sifat manusia biasa.
Maqam mereka adalah wisal, artinya sampai dan berhubungan.
f. Manusia yang berada dalam nafsul mardhiyah
Mereka yang telah berhasil meleburkan dirinya ke dalam kecintaan khalik dan khalak, tidak ada penyelewengan dalam syuhudnya. Ia menepati segala janji Tuhan dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Maqam mereka adalah tajalli af’al, artinya kelihatan Tuhan.
g. Manusia yang berada dalam nafsul kamillah
Mereka yang dalam beribadah menyertakan badannya, lidahnya, hatinya dan anggota-anggota tubuhnya yang lain. Mereka ini banyak beristighfar, banyak ber-tawadhu’ (rendah hati atau tidak suka menyombongkan diri). Kesenangan dan kegemarannya adalah dalam tawajjuh khalak.
Maqam mereka adalah tajalli sifat, artinya tampak nyata segala sifat Tuhan.
Pengertian Tasawwuf dan Tharekat, serta hubungan antara keduanya.
Secara ethimologi, tasawwuf berasal dari bahasa arab yaitu dari kata "shuuf", yang berarti bulu. Jaman dulu, disamping mesjid nabi di madinah, oleh nabi dibangunlah sebuah tempat yang mungkin sekarang disebut surau, yang sangat sederhana, untuk tempat istirahat orang2 yang dalam perjalanan (musafir) atau orang2 yang mengkhususkan dirinya untuk belajar tentang ajaran yang dibawa oleh rasul, dan langsung dari rasul. Mereka menjauhkan dari urusan duniawi dengan cara berpakaian yang waktu itu dianggap paling sederhana yang terbuat dari bulu binatang (shuuf). Komunitas mereka waktu itu disebut" kaum shuuf". Kaum shuuf ini sesuai dengan pengalaman bathin yang telah mereka rasakan masing2 untuk mencapai kesadaran murni (fitrah) yang mengarahkan jiwa yang benar kepada amal dalam rangka mendekatkan diri kepada Alloh swt. Ilmu atau ajaran yang dipelajari oleh kaum shuuf ini yang menimbulkan keistimewaan bagi mereka dalam hal keimanan/keyakinan yang tidak bisa dipungkiri terhadap Alloh swt. Tidak ada literatur yang manerangkan sejak kapan timbul istilah "tasawwuf", yang ditujukan kepada pengetahuan yang dimiliki/dipelajari oleh kaum shuuf ini. Memang waktu itu juga ada istilah yang disebut "tauhid" yang artinya ilmu tentang ketuhanan. Istilah tasawwuf dibedakan dengan tauhid, dimana tasawwuf dikhususkan pada orang2 yang memang mencurahkan dirinya untuk mempelajari ketauhidan berikut tingkah laku atau pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan tarekat berasal dari kata "thoriqoh" yang berarti cara atau jalan. Dalam artian jalan yang mengacu pada suatu sistem latihan meditasi atau amalan-amalan yang diajarkan oleh guru sufi. Istilah ini kemudian berkembang menjadi organisasi atau komunitas yang tumbuh seputar metode yang khas menaungi paham tasawwuf.
Dari pengertian diatas, tampaklah pertalian yang sangat erat antara tasawwuf dan tarekat, bahwa antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Tasawwuf adalah adalah sebuah ideologi dari insitusi yang menaunginya, yaitu tarekat. Atau dengan kata lain, tarekat merupakan mazhab-mazhab dalam tasawwuf. Dan tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawwuf yang kemudian berkembang menjadi suatu organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf secara bersama-sama.
Macam-Macam Tarekat.
Jumlah Tarekat sangat banyak, akan tetapi yang akan dibahas disini, yaitu:
1. Tarekat Syattariyah.
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi manapun.
Isi ajaran Tarekat Syattariyah.
1. Hubungan Antara Tuhan dengan Alam
Menurut ajaran tarekat Syattariyah, alam diciptakan oleh Allah dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, alam berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama A’yan Tsabitah. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah. Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma pada A’yan Kharijiyyah (kenyataan yang berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang, dan ia tiada lain daripada-Nya.
Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh, antara lain:
a. Pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Dan jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari seorang saja.
b. Kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan itu sendiri tetapi ia termauk dari tangan itu juga.
c. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya. Ilmu itu berdiri pada dzatnya dan hapus di dalam dirinya. Padahal hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya), yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa al-kullu Huwa al-Haqq, artinya ‘Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha Benar’.
2. Dzikir dalam Tarekat Syattariyah
a. Aturan-aturan berdzikir
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
b. Tingkatan dzikir
Pelaksanaan dzikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: mubtadi (tingkat permulaan), mutawasitah (tingkat menengah), dan muntahi (tingkat terakhir). Tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat, yaitu ma’rifat tanziyyah dan ma’rifat tasybiyyah. Ma’rifat tanziyyah adalah ‘suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apapun’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi batiniah/hakikatnya. Sedangkan ma’rifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan mengiktikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar’, dalam makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya.
c. Macam-macam dzikir
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendalikan tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
1) Dzikir Thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2) Dzikir Nafi Itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3) Dzikir Itsbat Faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4) Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5) Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Illahi.
6) Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Illahi.
7) Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”.
Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
1) Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2) Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3) Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4) Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
5) Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
6) Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7) Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok.
1) Menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain.
2) Menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain.
3) Menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain.
Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
2. Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah ialah Muhammad bin Baha’uddin Al-Huwaisi Al Bukhari (717-791 H). Ulama sufi yang lahir di desa Hinduwan – kemudian terkenal dengan Arifan, beberapa kilometer dari Bukhara. Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah ini juga dikenal dengan nama Naqsyabandi yang berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikan gambaran kehidupan yang ghaib-ghaib. Kata ‘Uwais’ ada pada namanya, karena ia ada hubungan nenek dengan Uwais Al-Qarni, lalu mendapat pendidikan kerohanian dari wali besar Abdul Khalik Al-Khujdawani yang juga murid Uwais dan menimba ilmu Tasawuf kepada ulama yang ternama kala itu, Muhammad Baba Al-Sammasi.
Tarekat Naqsyabandiyah mengajarkan zikir-zikir yang sangat sederhana, namun lebih mengutamakan zikir dalam hati daripada zikir dengan lisan.
Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan dalam Tarekat ini, yaitu:
a. Tobat
b. Uzla (Mengasingkan diri dari masyarakat ramai yang dianggapnya telah mengingkari ajaran-ajaran Allah dan beragam kemaksiatan, sebab ia tidak mampu memperbaikinya)
c. Zuhud (Memanfaatkan dunia untuk keperluan hidup seperlunya saja)
d. Taqwa
e. Qanaah (Menerima dengan senang hati segala sesuatu yang dianugerahkan oleh Allah SWT)
f. Taslim (Kepatuhan batiniah akan keyakinan qalbu hanya pada Allah)
Hukum yang dijadikan pegangan dalam Tarekat Naqsyabandiyah ini juga ada enam, yaitu:
a. Zikir
b. Meninggalkan hawa nafsu
c. Meninggalkan kesenangan duniawi
d. Melaksanakan segenap ajaran agama dengan sungguh-sungguh
e. Senantiasa berbuat baik (ihsan) kepada makhluk Allah SWT
f. Mengerjakan amal kebaikan
3. Tarekat Qadiriyah
Pendiri Tarekat Qadiriyah adalah Syeikh Abduk Qadir Jailani, seorang ulama yang zahid, pengikut mazhab Hambali. Ia mempunyai sebuah sekolah untuk melakukan suluk dan latihan-latihan kesufian di Baghdad. Pengembangan dan penyebaran Tarekat ini didukung oleh anak-anaknya antara lain Ibrahim dan Abdul Salam. Sebagaimana Tarekat yang lain, Qadiriyah juga memiliki dan mengamalkan zikir dan wirid tertentu.
Sejak kecil, Syeikh Abdul Qadir telah menunjukkan tanda-tanda sebagai Waliyullah yang besar. Ia adalah anak yang sangat berbakti pada orang tua, jujur, gemar belajar dan beramal serta menyayangi fakir miskin dan selalu menjauhi hal0hal yang bersifat maksiat. Ia memang lahir dan dididik dalam keluarga yang taat karena ibunya yang bernama Fatimah dan kakeknya Abdullah Sum’i adalah wali Allah SWT.
Syeikh Abdul Qadir Jailani dikaruniai oleh Allah SWT keramat sejak masih muda, sekitar usia 18 tahun. Dikisahkan dalam manaqib (biografi) beliau bahwa ketika ia akan membajak sawah, sapi yang menarik bajak mengatakan kepadanya, “Engkau dilahirkan ke dunia bukan untuk kerja begini.” Peristiwa yang mengejutkan ini mendorongnya untuk bergegas pulang. Ketika ia naik ke aatas atap rumah, mata batinnya melihat dengan jelas suatu majelis yang sangat besar di Padang Arafah. Setelah itu ia memohojn kepada ibunya agar membaktikan dirinya kepada Allah SWT dan berkenan mengirimkannya ke kota Baghdad yang kala itu menjadi pusat ilmu pengetahuan yang terkenal bagi kaum muslimin. Dengan sangat berat hati ibunya pun mengabulkannya.
Suatu hari bergabunglah Abdul Qadir Jailani dengan kafilah yang menuju Baghdad. Ketika hampir sampai di tujuan, kafilah ini dikepung oleh sekawanan perampok. Semua harta benda milik kafilah dirampas, kecuali bekal yang dibawa oleh Abdul Qadir Jailani. Salah seorang kawanan perampok kemudian mendatanginya dan bertanya, “Apa yang engkau bawa?” Dengan jujur Abdul Qadir Jailani menjawab, “Uang empat puluh dinar.”
Perampok itu membawa Abdul Qadir Jailani menghadap pimpinannya dan menceritakan tentang uang empat puluh dinar. Pemimpin perampok itu pun segera meminta uang yang empat puluh dinar tadi, namun ia merasa terpesona oleh kepribadian Abdul Qadir Jailani. “Mengapa engkau berkata jujur tentang uang ini?” Dengan tenang Abdul Qadir Jailani, “Saya telah berjanji kepada ibu untuk tidak berbohong kepada siapapun dan dalam keadaan apapun.
Seketika pemimpin perampok tersebut terperangah, sejenak kemudian ia menangis dan menyesali segala perbuatan zalimnya. “Mengapa saya berani terus-menerus melanggar peraturan Tuhan, sedangkan pemuda ini melanggar janji pada ibunya sendiri saja tidak berani.” Ia kemudian memerintahkan semua barang rampasan kepada pemiliknya masing-masing dan sejak itu berjanji untuk mencari rezeki dengan jalan yang halal.
Semasa Abdul Qadir Jailani masih hidup, Tarekat Qadiriyah sudah berkembang ke beberapa penjuru dunia, antara lain ke Yaman yang disiarkan oleh Ali bin Al-Haddad, di Syiria oleh Muhammad Batha’, di Mesir oleh Muhammad bin Abdus Samad serta di Maroko, Turkestan dan India yang dilakukan oleh anak-anaknya sendiri. Mereka sangat berjasa dalam menyempurnakan Tarekat Qadiriyah. Mereka pula yang menjadikan tarekat ini sebagai gerakan yang mengumpulkan dan menyalurkan dana untuk keperluan amal sosial.
4. Tarekat Rifa’yah
Pendirinya Tarekat Rifaiyah adalah Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifai. Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H (1106 M), sedangkan sumber lain mengatakan ia lahir pada tahun 512 H (1118 M). Sewaktu Ahmad berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia lalu diasuh pamannya, Mansur Al-Batha’ihi, seorang syeikh Trarekat. Selain menuntut ilmu pada pamannya tersebut ia juga berguru pada pamannya yang lain, Abu Al-Fadl Ali Al Wasiti, terutama tentang Mazhab Fiqh Imam Syafi’i. Dalam usia 21 tahun, ia telah berhasil memperoleh ijazah dari pamannya dan khirqah 9 sebagai pertanda sudah mendapat wewenang untuk mengajar.
Ciri khas Tarekat Rifaiyah ini adalah pelaksanaan zikirnya yang dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, antara lain berguling-guling dalam bara api, namun tidak terbakar sedikit pun dan tidak mempan oleh senjata tajam.
5. Tarekat Sammaniyah
Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan Syeikh Muhammad Saman, seorang guru masyhur yang mengajarkan Tarekat di Madinah. Banyak orang Indonesia terutama dari Aceh yang pergi ke sana mengikuti pengajarannya. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika Tarekat ini tersebar luas di Aceh dan terkenal dengan nama Tarekat Sammaniyah.
Sebagaimana guru-guru besar Tasawuf, Syeikh Muhammad Saman terkenal akan kesalehan, kezuhudan dan kekeramatannya. Salah satu keramatnya adalah ketika Abdullah Al-Basri – karena melakukan kesalahan – dipenjarakan di Mekkah dengan kaki dan leher di rantai. Dalam keadaan yang tersiksa, Al-Basri menyebut nama Syeikh Muhammad Saman tiga kali, seketika terlepaslah rantai yang melilitnya. Kepada seorang murid Syeikh Muhammad Saman yang melihat kejadian tersebut, Al-Basri menceritakan, “kulihat Syeikh Muhammad Saman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus.”
Perihal awal kegiatan Syeikh Muhammad Saman dalam Tarekat dan Hakikat, menurut Kitab Manaqib Tuan Syeikh Muhammad Saman, adalah sejak pertemuannya dengan Syeikh Abdul Qadir Jailani. Kisahnya, di suatu ketika Syeikh Muhammad Saman berkhalwat (bertapa) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu datang Syeikh Abdul Qadir Jailani membawakan pakaian jubah putih. “Ini pakaian yang cocok untukmu.” Ia kemudian memerintahkan Syeikh Muhammad Saman agar melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon semula Syeikh Muhammad Saman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW menyebarkannya dalam kota Madinah.
Tarekat Sammaniyah juga mewiridkan bacaan zikir yang biasanya dilakukan secara bersama-sama pada Malam Jum’at di masjid-masjid atau mushalla sampai jauh tengah malam. Selain itu ibadah yang diamalkan oleh Syeikh Muhammad Saman yang diikuti oleh murid-muridnya sebagai Tarekat antara lain adalah shalat sunnah Asyraq dua raka’at, shalat sunnah Dhuha dua belas raka’at, memperbanyak riadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT) dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
6. Tarekat Syaziliyah
Pendiri Tarekat Syaziliyah adalah Abdul Hasan Ali Asy-Syazili, seorang ulama dan sufi besar. Menurut silsilahnya, ia masih keturunan Hasan, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah SAW. Ia dilahirkan pada 573 H di suatu desa kecil di kawasan Maghribi. Tentang arti kata “Syazili” pada namanya yang banyak dipertanyakan orang kepadanya, konon ia pernah menanyakannya kepada Tuhan dan Tuhan pun memberikan jawaban, “Ya Ali, Aku tidak memberimu nama Syazili, melainkan Syazz yang berarti jarang karena keistimewaanmu dalam berkhidmat kepada-Ku.
Ali Syazili terkenal sangat saleh dan alim, tutur katanya enak didengar dan mengandung kedalaman makna. Bahkan bentuk tubuh dan wajahnya, menurut orang-orang yang mengenalnya, konon mencerminkan keimanan dan keikhlasan. Sifat-sifat salehnya telah tampak sejak ia masih kecil. Apalagi setelah ia berguru pada dua ulama besar – Abu Abdullah bin Harazima dan Abdullah Abdussalam ibn Masjisy – yang sangat meneladani khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib.
Dalam jajaran sufi, Ali Syazili dianggap seorang wali yang keramat. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa ia pernah mendatangi seorang guru untuk mempelajari suatu ilmu. Tanpa basa-basi sang guru mengatakan kepadanya, “Engkau mendapatkan ilmu dan petunjuk beramal dariku? Ketahuilah, sesungguhnya engkau adalah salah seorang guru ilmu-ilmu tentang dunia dan ilmu-ilmu tentang akhirat yang terbesar.” Kemudian pada suatu waktu, ketika ingin menanyakan tentang Ismul A’zam kepada gurunya, seketika ada seorang anak kecil datang kepadanya, “Mengapa engkau ingin menanyakan tentang Ismul A’zam kepada gurumu? Bukankah engkau tahu bahwa Ismul A’zam itu adalah engkau sendiri?”
Tarekat Syaziliyah merupakan Tarekat yang paling mudah pengamalannya. Dengan kata lain tidak membebani syarat-syarat yang berat kepada Syeikh Tarekat. Kepada mereka diharuskan:
a. Meninggalkan segala perbuatan maksiat.
b. Memelihara segala ibadah wajib, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan lain-lain.
c. Menunaikan ibadah-ibadah sunnah semampunya.
d. Zikir kepada Allah SWT sebanyak mungkin atau minimal seribu kali dalam sehari semalam dan beristighfar sebanyak seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain.
e. Membaca shalawat minimal seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain.
7. Tarekat Tijaniyah
Pendiri Tarekat Tijaniyah ialah Abdul Abbas bin Muhammad bin Muchtar At-Tijani (1737-1738), seorang ulama Algeria yang lahir di ‘Ain Mahdi. Menurut sebuah riwayat, dari pihak bapaknya ia masih keturunan Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Keistimewaannya adalah pada saat ia berumur tujuh tahun, Konon Tijani sudah menghapal Alqur’an, kemudian mempelajari pengetahuan Islam yang lain, sehingga ia menjadi guru dalam usia belia.
Ketika naik haji di Madinah, Tijani berkenalan dengan Muhammad bin Abdul Karim As-Samman, pendiri Tarekat Sammaniyah. Setelah itu ia mulai mempelajari ilmu-ilmu rahasia batin. Gurunya yang lain dalam bidang Tarekat ini ialah Abu Samghun As-Shalasah. Dari sinilah pandangan batinnya mulai terasah. Bahkan konon dalam keadaan terjaga ia bertemu Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan kepadanya beberapa wirid, istighfar dan shalawat yang masing-masing harus diucapkan seratus kali dalam sehari semalam. Selain itu Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan agar Tijani mengajarkan wirid-wirid tersebut kepada semua orang yang menghendakinya.
Wirid-wirid yang harus diamalkan dalam Tarekat Tijaniyah sangat sederhana, yaitu terdiri dari istighfar seratus kali, shalawat seratus kali dan tahlil seratus kali. Semua wirid tersebut boleh diamalkan dua waktu sehari yaitu pagi setelah Shalat Shubuh dan sore setelah Shalat Ashar.
8. Tarekat Khalawatiyah
Cabang dari Tarekat Aqidah Suhrardiyah yang didirikan di Baghdat oleh Abdul Qadir Suhrawardi dan Umar Suhrawardi. Mereka menamakan diri golongan Siddiqiyah karena mengklaim sebagai keturunan kahlifah Abu Bakar r.a. Khalawatiyah ini didirikan di Khurasan oleh Zahiruddin dan berhasil berkembang sampai ke Turki. Tidak mengherankan jika Tarekat Khalawatiyah ini banyak cabangnya antara lain; Tarekat Dhaifiyah di Mesir dan di Somalia dengan nama Salihiyah.
Tarekat Khalawatiyah ini membagi manusia menjadi tujuh tingkatan:
a. Manusia yang berada dalam nafsul ammarah
Mereka yang jahil, kikir, angkuh, sombong, pemarah, gemar kepada kejahatan, dipengaruhi syahwat dan sifat-sifat tercela lainnya. Mereka ini bisa membebaskan diri dari semua sifat-sifat tidak terpuji tersebut dengan jalan memperbanyak zikir kepada Allah SWT dan mengurangi makan-minum.
Maqam mereka adalah aghyar, artinya kegelap-gulitaan.
b. Manusia yang berada dalam nafsul lawwamah
Mereka yang gemar dalam mujahaddah (meninggalkan perbuatan buruk) dan berbuat saleh, namun masih suka bermegah-megahan dan suka pamer. Cara untuk melenyapkan sifat-sifat buruk tersebut adalah mengurangi makan-minum, mengurangi tidur, mengurangi bicara, sering menyendiri dan memperbanyak zikir serta berpikir yang baik-baik.
Maqam mereka adalah anwar, artinya cahaya yang bersinar.
c. Manusia yang berada dalam nafsul mulhamah
Mereka yang kuat mujahaddah dan tajrid, karena ia telah menemui isyarat-isyarat tauhid, namun belum mampu melepaskan diri dari hukum-hukum manusia. Cara untuk melepaskan kekurangannya adalah dengan jalan menyibukkan batinnya dalam Hakikat Iman dan menyibukkan diri dalam Syari’at Islam.
Maqam mereka adalah kamal, artinya kesempurnaan.
d. Manusia yang berada dalam nafsul muthma’innah
Mereka yang tidak sedikit pun meninggalkan ajaran Islam, mereka merasa nyaman jika berakhlak seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan merasa belum tentram hatinya jika belum mengikuti petunjuk dan sabda Beliau.
Manusia seperti ini sangat menyenangkan siapa pun yang melihatnya dan mengajaknya berbicara.
e. Manusia yang berada dalam nafsul radhiyah
Mereka yang sudah tidak menggantungkan diri kepada sesama manusia, melainkan hanya kepada Allah SWT. Mereka umumnya sudah melepaskan sifat-sifat manusia biasa.
Maqam mereka adalah wisal, artinya sampai dan berhubungan.
f. Manusia yang berada dalam nafsul mardhiyah
Mereka yang telah berhasil meleburkan dirinya ke dalam kecintaan khalik dan khalak, tidak ada penyelewengan dalam syuhudnya. Ia menepati segala janji Tuhan dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Maqam mereka adalah tajalli af’al, artinya kelihatan Tuhan.
g. Manusia yang berada dalam nafsul kamillah
Mereka yang dalam beribadah menyertakan badannya, lidahnya, hatinya dan anggota-anggota tubuhnya yang lain. Mereka ini banyak beristighfar, banyak ber-tawadhu’ (rendah hati atau tidak suka menyombongkan diri). Kesenangan dan kegemarannya adalah dalam tawajjuh khalak.
Maqam mereka adalah tajalli sifat, artinya tampak nyata segala sifat Tuhan.